Penetrasi asuransi jiwa di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, meskipun potensi pasar yang besar. Masyarakat Indonesia, meskipun semakin sadar akan pentingnya perlindungan finansial, masih menghadapi tantangan dalam memahami manfaat asuransi jiwa secara menyeluruh. Faktor budaya, kurangnya edukasi, serta persepsi yang kurang tepat tentang asuransi menjadi hambatan utama dalam meningkatkan penetrasi produk asuransi jiwa di negara ini.
Di Indonesia, pengaruh budaya masih memainkan peran yang signifikan dalam keputusan pembelian asuransi, baik itu asuransi jiwa, kesehatan, atau jenis asuransi lainnya. Masyarakat yang sangat menjunjung nilai kekeluargaan, pandangan tentang takdir, dan kurangnya edukasi tentang produk asuransi seringkali mempengaruhi persepsi mereka terhadap pentingnya perlindungan finansial. Faktor-faktor budaya ini masih menjadi tantangan besar dalam meningkatkan penetrasi asuransi di tanah air.
Dikutip dari situs Kupasi.org, pertumbuhan industri asuransi di Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan. Kalau dilihat dari segi sosial-budaya, secara garis besar setidaknya ada tiga hal yang sangat menentukan, antara lain :
1. Tingkat Kesadaran Masyarakat
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya asuransi sebagian besar disebabkan oleh ketidaktahuan. Banyak orang yang tidak mengetahui dengan jelas manfaat asuransi, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk memilikinya. Selain itu, masih ada kesan negatif yang melekat pada asuransi, seperti keluhan mengenai layanan yang tidak memadai dan klaim yang tidak dibayar, yang memperburuk pandangan masyarakat terhadap produk ini.
2. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Menurut Outreville (2011), tingkat pendidikan memiliki korelasi positif dengan permintaan asuransi. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka untuk membeli asuransi. Hal ini karena individu dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang manfaat asuransi dan pentingnya perlindungan finansial.
Di Indonesia, terdapat harapan yang besar bahwa penetrasi asuransi akan terus tumbuh seiring dengan adanya kebijakan pendidikan wajib sembilan tahun dan meningkatnya anggaran pendidikan. Inisiatif ini dapat menghasilkan generasi yang lebih sadar akan pentingnya perencanaan keuangan dan perlindungan asuransi di masa depan.
3. Respon Terhadap Keyakinan (Agama)
Ketiga, respon terhadap keyakinan agama juga memainkan peran penting dalam permintaan asuransi. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kerugian atau bencana adalah persoalan takdir, sehingga tidak perlu memiliki asuransi. Menurut Park & Lemaire (2011), permintaan asuransi memang memiliki korelasi negatif dengan agama Islam. Namun, dengan hadirnya asuransi syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, pandangan ini perlu diuji kembali.
Asuransi syariah memberikan solusi yang sesuai dengan konsep agama, dan hal ini terbukti dengan pesatnya pertumbuhan asuransi syariah, baik di dunia maupun di Indonesia, yang bahkan mengungguli pertumbuhan asuransi konvensional (Bapepam-LK, 2012; Swiss Re, 2012). Ini menunjukkan bahwa agama, khususnya Islam, tidak lagi menjadi penghalang bagi masyarakat untuk membeli asuransi, asalkan produk tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian, meskipun faktor sosial-budaya seperti tingkat kesadaran masyarakat, pendidikan, dan keyakinan agama masih mempengaruhi permintaan asuransi di Indonesia, perkembangan produk asuransi yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti asuransi syariah, memberikan harapan besar untuk peningkatan penetrasi asuransi di masa depan. Edukasi yang lebih baik dan pemahaman yang lebih mendalam tentang manfaat asuransi akan semakin mendorong masyarakat untuk melindungi diri mereka secara finansial dan merencanakan masa depan yang lebih aman.